Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sadisnya Hukuman Terduga Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus

Ilustrasi perundungan | Advokatmanado.com/Asmara Dewo

Advokatmanado.com-Entah apa yang ada di benak kawan-kawan mahasiswa yang begitu bar-bar merundung, bahkan menganiaya teman kampusnya sendiri. Kita sepakat bahwa pelaku tindak pidana kekerasan seksual harus diberi efek jera dengan menjalani proses hukumnya. Tapi tidak pula membalas terhadap pelaku dengan begitu sadisnya. 

Kabarnya dugaan pelaku kekerasan seksual itu melakukan pelecehan seksual terhadap teman perempuannya. Saat itu korban ingin mencium korban, lalu korban memberontak dan mendorong terduga pelaku. Setelah itu korban melaporkan kejadian itu ke akun yang aktif menyoroti kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus mereka.

Beberapa lama kemudian, si terduga pelaku kekerasan seksual dicari oleh kawanan mahasiswa dan sebagaimana yang terjadi pada foto dan video yang beredar. Si terduga pelaku kekerasan seksual itu dirundung mahasiswa, ditelanjangi, dipaksa minum air seni, bahkan sempat disundut rokok. Begitu mengerikan hukuman massa kepada terduga pelaku kekerasan seksual tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah dengan memberikan hukuman seperti itu bisa mengurangi kasus kekerasan seksual di kampus mereka? Siapa yang berani menjawabnya?!

Memang beberapa tahun belakangan semakin marak berbagai kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Pelakunya bisa teman sendiri, maupun dosennya. Bahkan seperti di beberapa kampus, kasus kekerasan seksual mengecewakan pencari keadilan. Si pelaku terbebas dari jerat hukum. Di kampus lain lagi terduga pelaku kekerasan yang dilakukan dosen masih aktif mengajar di kampus.

Kita mencoba menduga kawan-kawan yang begitu ekstrem melakukan hukuman terhadap terduga pelaku kekerasan seksual karena sudah tidak percaya pada hukum. Memang hal itu tidak baik, jika kita sudah berprasangka negatif terhadap para penegak hukum. 

Terlebih lagi dengan adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU PKS). Adanya UU PKS itu sebenarnya sangat membantu para pencari keadilan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Beberapa alat bukti yang mempermudah itu adalah:

Pasal 1 ayat 6 UU PKS “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual, meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”

Jadi misalnya korban kekerasan seksual bercerita ke teman atau anggota keluarga apa yang dialaminya, maka si teman atau anggota keluarga tadi bisa menjadi saksi baik saat di penyidikan maupun di persidangan. 

Baca juga:

Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan

Sulawesi Utara (Manado) Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak

Banyak yang Belum Tahu, Ini Peran Penting Paralegal dalam Pengadvokasian

Nah, terkait barang bukti bisa lihat Pasal 24 ayat 3 huruf f UU PKS “Surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiatri/dokter spesialis kedokteran jiwa.”

Korban yang mengalami kekerasan seksual setelah berkonsultasi dan menceritakan pengalaman kekerasan seksual terhadap psikolog, lalu psikolog itu membuat Surat Keterangan Psikologi, maka surat itu bisa menjadi barang bukti. Barang bukti seperti yang demikian itu sebelumnya “tidak diakui” dalam kasus pidana selain visum et repertum, atau visum et repertum psikiatrikum. 

Apalagi korban dan pendamping bisa mengeluarkan surat visum. Tentu hal itu akan mempermudah para pencari keadilan dalam menegakkan hukum kekerasan seksual di lingkungannya.

Hakim juga tidak begitu terbebani dalam memutuskan perkara kekerasan seksual, karena berdasarkan Pasal 25 ayat (1) “Keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Namun, lagi-lagi pada fakta di lapangan tidak sesederhana itu. Bahkan banyak kasus kekerasan seksual berujung damai. Terjadinya perdamaian tak terlepas dari peran pihak kepolisian yang menerima laporan tersebut. Padahal kasus kekerasan seksual secara tegas diterangkan pada Pasal 23 UU PKS “Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.”

Bisa dicabut laporannya jika kasus kekerasan seksual berbasis elektronik, lihat pasal 14 ayat (3) UU PKS “Kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.”

Menguji Kejeniusan dalam Pendampingan Hukum 

Ilustrasi pendampingan kasus kekerasan seksual | Advokatmanado.com/Asmara Dewo

Belajar dari kasus di atas yang begitu cepatnya nama terduga pelaku kekerasan seksual yang menyebar di media sosial. Meskipun cuma inisial, tetapi cukup berdampak pada orang yang dimaksud. Sebaiknya akun yang menyoroti kasus kekerasan seksual di kampusnya, tidak menuliskan inisial. 

Selanjutnya belajar dalam mengawal kasus sebagaimana peraturan dan perundang-undangan berlaku. Mengawal kasus atau mendampingi korban harus membentuk tim advokasi. Orang-orang dalam tim ini memang sudah terverifikasi. Dalam tindakan untuk mengadvokasi harus hati-hati, tidak buru-buru, dan lebih baik dilakukan secara senyap. Tidak perlu heboh berlagak super hero. Yang pada intinya kasus itu selesai.

Ini yang kita maksud bahwa orang-orang yang peduli dengan kasus kekerasan seksual, menegakkan hukum, dan mendapatkan keadilan dengan cara yang benar di mata hukum. Jangan sampai kawan-kawan tertarik dengan kasus kekerasan seksual, malah bisa kena pidana. Kita harus saling menjaga, dan mengantarkan terduga pelaku kekerasan seksual divonis oleh hakim sebagaimana mestinya.

Jika semua itu berjalan lancar, kita patut mengapresiasi kawan-kawan dalam pendampingan kasus kekerasan seksual. Jangan lagi ada perundungan yang dialami terduga pelaku kekerasan seksual seperti di atas. Perlakuan seperti itu tidak manusiawi. Wajib dijauhi oleh kaum intelektual yang membawa arah masa depan bangsa.

Penulis: Asmara Dewo, Konsultan Hukum

Baca juga:

Bagaimana Dugaan Salah Tangkap Kasus Klitih di Yogyakarta?

Buruh dalam Bayang-Bayang PHK tanpa Pesangon

Posting Komentar untuk "Sadisnya Hukuman Terduga Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus"