Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memilih Peradilan Perkara Suap Kabasarnas

Gedung Basarnas
Gedung Basarnas | Kumparan


Advokatmanado.com-TNI aktif menjabat di lembaga sipil menjadi bumerang pada penegakan hukum. “Intervensi” dari militer sangat kentara terhadap kasus suap di Basarnas yang ditangani KPK. Kantor KPK “digeruduk” Danpuspom TNI Marsekal Muda (Marsda) R Agung Handoko, dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda (Laksda) Julius Widjojono setelah penetapan Tersangka Kabasarnas.

Petinggi TNI itu menjelaskan bahwa KPK tidak berhak menetapkan anggota TNI sebagai tersangka. Dengan dalih Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. KPK dianggap telah keliru dan menyalahi aturan.

Basarnas merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Basarnas adalah lembaga sipil bukan lembaga militer. Kepala Basarnas diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, sebagaimana dalam Pasal 44 ayat (1) Perpres No. 83/2016 tentang BNPP.

Nah, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BNPP dikoordinasikan oleh Menteri Perhubungan.

Sejak mulai berdirinya Basarnas pada 1972 dikepalai kalangan militer, tak terkecuali Kabasarnas yang sekarang, Marsekal Muda TNI Henri Alfiandi.

Saat ini Henry dan Kolonel Arif Budi Cahyanto ditetapkan tersangka dalam perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa sejak 2021-2023 sebesar Rp88,3 miliar. KPK juga menyeret Direktur Utama PT Dipta Safari Jaya Tandiono Sinaryudo dan Direktur PT Omega Raya Mandiri Loveray Stanly Rayco Sanger.  

Pasca “digeruduk”, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pun meminta maaf karena telah melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan) dan menjadikan tersangka personil TNI. Tampaknya KPK ketar-ketir setelah digeruduk TNI.

Siapa yang Berwenang Menangani Perkara Suap Kabasarnas

Tindakan KPK yang telah OTT dan menetapkan tersangka kedua TNI aktif itu sudah tepat, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat Undang-Undang No. 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.”

Kewenangan dalam peradilan umum juga diamanatkan pada Pasal 3 ayat (4) huruf a Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia “Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Selanjutnya Pasal 89 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menerangkan “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman Perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”

Hal itu juga pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Asep N Mulyana, “ Penaganan perkara secara koneksitas atau hukum pemeriksaan koneksitas atau peradilan koneksitas adalah suatu sistem peradilan yang diterapkan atas suatu tindak pidana di mana di antara tersangka atau terdakwanya terjadi penyertaan (turut serta, deelneming) atau secara bersama-sama (mede dader) antara orang sipil dengan orang yang berstatus militer (prajurit TNI).”

Jadi sangat beralasan peradilan koneksitas bisa diterapkan dalam perkara suap Kabasarnas Marsekal Muda TNI Henri Alfiandi dan Kolonel Arif Budi Cahyanto. Sebab ada kekhawatiran jika kedua petinggi TNI tersebut diadili di peradilan militer tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Publik masih mengingat pernah terjadi kasus korupsi helikopter AW-101 yang melibatkan personil TNI di-SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) oleh Puspom TNI karena dianggap kurang barang bukti. Sementara Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia divonis 10 tahun penjara.

Maka sudah menjadi resiko bagi TNI aktif yang menjabat di lembaga sipil untuk mempertanggungjawabkan segala kejahatannya di peradilan umum. Kan tidak lucu berbuat kejahatan di ranah sipil, tapi keukeuh diadili di peradilan militer.

Sebagaimana diketahui TNI merupakan lembaga negara yang paling dipercaya dibandingkan dengan 13 lembaga lainnya. Hasil survei itu berdasarkan rilis LSI (Lembaga Survei Indonesia) Februari 2023 lalu. Jangan sampai kepercayaan masyarakat memudar karena hanya beberapa personil TNI yang jahat.

Evaluasi Presiden

Presiden Jokowi juga semestinya evaluasi atas kejahatan TNI aktif di lembaga sipil. Karena jika hal ini dibiarkan secara permanen, maka akan ada kejahatan TNI aktif lagi.

Sudah sepatutnya TNI aktif berkarir di lembaganya sendiri, tidak perlu lagi ekspansi karir di lembaga sipil. Karena masih banyak sipil yang mampu memimpin lembaga sipil itu sendiri.

Namun jika ada “unsur politis” atau lain sebagainya wajar saja memang sengaja ada pembiaran TNI aktif di lembaga-lembaga sipil. Atau dengan cara yang lebih elegant, setelah selesai dinas baru menjabat lembaga sipil. Hal itu lebih fair jika dibandingkan memaksa TNI aktif untuk mengisi lembaga sipil.

Penulis: Asmara Dewo, Advokat dan Konsultan Hukum




Posting Komentar untuk "Memilih Peradilan Perkara Suap Kabasarnas "