Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Dugaan Salah Tangkap Kasus Klitih di Yogyakarta?

Dugaan salah tangkap kasus klitih Gedongkuning, Yogyakarta | Foto Mudrik Haikal/Desain Advokat Manado
Dugaan salah tangkap kasus klitih Gedongkuning, Yogyakarta | Foto Mudrik Haikal/Desain Advokat Manado

Advokatmanado.com-Terdakwa Ryan harus menerima nasib memilukan pasca putusan Ketua Majelis Hakim No. perkara 124/Pid.B/2022/PN.Yyk, yang memvonisnya selama 10 tahun. Sebuah putusan yang terlalu dipaksakan, padahal tidak ada bukti kuat dan saksi kuat yang menerangkan bahwa Terdakwalah pelaku pembunuhan di tragedi Gedongkuning berdarah. 

Ryan, disebut sebagai eksekutor yang mengakibatkan kematian seseorang. Selain itu ada empat terdakwa yang juga dituduhkan atas perbuatan tersebut.

Kasus ini memang menjadi perbincangan yang begitu masif di tengah masyarakat Yogyakarta. Kasus ini pun begitu cepat diproses oleh pihak kepolisian. Sekitar sepekan, Ryan langsung dijemput di rumahnya. 

Ryan manut saja karena saat penjemputan itu pihak kepolisian hanya menuduh Ryan tawuran perang sarung. Ryan memang mengakuinya, bahwa dia dan teman-temannya pada malam kejadian itu tawuran. Selanjutnya di tengah pemeriksaan kasus perang sarung bergeser ke kasus klitih di Gedongkuning. 

Ryan dituduh dan dipaksa mengaku melakukan klitih atau biasa disebut kejahatan jalanan. Tak tanggung-tanggung, petugas pun memakai cara orde baru untuk membuat si tertuduh mengakui perbuatannya. Wajahnya lebam dan bengkak akibat dipukul petugas. Ayah Ryan syok setelah melihat wajah anaknya diperlakukan demikian di kantor kepolisian.

Pasca pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Yogyakarta, Ryan bak teroris yang berbahaya. Kedua tangannya diborgol. Pemandangan yang memilukan saat Ryan makan siang, orangtuanya terpaksa menyuapi anaknya seperti anak kecil, karena kedua tangan Ryan diborgol.

Tim Penasihat Hukum dari PBHI Yogyakarta memang tidak terlalu straight pada tahap non litigasi. Mungkin organisasi bantuan hukum yang dinakhodai Arsiko Aldebarant itu punya strategi tersendiri. Terbukti pada tahap litigasi, PBHI Yogyakarta menunjukkan taringnya. Meskipun pada akhirnya publik tahu, Ryan tetap divonis bersalah. Perlu diingat masih ada peluang menang pada tahap Banding, Kasasi, bahkan Peninjauan Kembali.

Baca juga:

Sulawesi Utara (Manado) Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak

Banyak yang Belum Tahu, Ini Peran Penting Paralegal dalam Pengadvokasian

Mengapa Hakim Menyatakan Ryan Bersalah?

Dari begitu banyak saksi yang dihadirkan PU (Penuntut Umum), tak ada satu pun yang bisa menyatakan secara tegas bahwa Ryan pelakunya. Sementara saksi dari Ryan mengaku sejak malam sampai pagi bersama Ryan. Barang bukti yang juga ditunjukkan di muka sidang seperti Hoodie hitam dan bergambar di bagian belakang adalah hoodie yang dipakai Ryan saat dijemput Polisi. Sedangkan pada barang bukti berupa CCTV menunjukkan pelaku menggunakan hoodie polos. Sementara Ryan pada waktu kejadian perang sarung memakai hoodie kuning.

Terlihat Ryan memakai hoodie kuning pada malam 3 April 2022 | Foto diambil dari CCTV Hiswana migas.
Terlihat Ryan memakai hoodie kuning pada malam 3 April 2022 | Foto diambil dari CCTV Hiswana migas.

Begitu juga dengan Gir, gir yang dijadikan barang bukti oleh PU bukanlah gir yang saat digunakan pada 3 April 2022 untuk menyabet korban. Gir tersebut merupakan gir milik kakaknya saksi Agus, yang memiliki bengkel motor. Menurut Redy gir ditemukan dalam keadaan kotor, beroli dan dipenuhi rumah serangga.

Berdasarkan keterangan konferensi pers PBHI Yogyakarta pada 7 November 2022 lalu, Arsiko menanggapi alat bukti dari PU, “CCTV tidak menjelaskan siapa pelakunya. Terkait visum itu bersifat umum, yaitu suatu benda keras yang menyebabkan kematian. Saksi-saksi juga tidak ada yang tahu.”  

Terkait parameter pembuktian menurut Eddy O.S. Hiariej di buku Teori & Hukum Pembuktian, 2012, Hal. 17, salah satunya adalah teori negatif wettelijk bewijstheorie. Dasar pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif. Secara tegas dasar pembuktian ini dinyatakan pada Pasal 183 KUHAP menjelaskan “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dalam hal ini Ketua Majelis hakim No perkara 124/Pid.B/2022/PN.Yyk kurang teliti menyatakan Ryan pelakunya. Iswantoro mengutip Ali (2003: 318) bahwa keyakinan hakim merupakan hal yang esensial dalam hukum acara pidana. Hakim harus benar-benar yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana, atau istilahnya beyond reasonable doubt (alasan yang tak dapat diragukan lagi). 

Hakim harus memperoleh keyakinan yang utuh dan terbebas dari keraguan dalam membuktikan apakah berdasarkan alat bukti yang diajukan telah benar-benar terjadi suatu tindak pidana. Lalu hakim terikat asas in dibio pro reo artinya dalam hal keragu-raguan, diputus yang menguntungkan terdakwa.

Kadiv Non Litigasi PBHI Yogyakarta Restu Saktya Baskara menegaskan akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas dan melakukan berbagai upaya advokasi, "PBHI Yogyakarta sudah melakukan upaya Banding, kita melaporkan ke Komisi Yudisial, akan melakukan eksaminasi putusan, dan laporan ke Propam Mabes Polri," ujar Restu saat dihubungi melalui jaringan seluler. 

Kadiv yang sudah malang melintang mengadvokasi kasus ini juga menekankan, "Jika Banding tetap kalah, akan melakukan upaya Kasasi ke Mahkamah Agung."

Baca juga:

Mengalami Kekerasan Seksual, 7 Hal Ini yang Harus Diperhatikan

Buruh dalam Bayang-Bayang PHK tanpa Pesangon

Berkaca pada Kasus Salah Tangkap Pembunuhan di Cipulir

Suasana sidang praperadilan tuntutan ganti rugi yang diajukan empat pengamen Cipulir korban salah tangkap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 30 Juli 2019
Suasana sidang praperadilan tuntutan ganti rugi yang diajukan empat pengamen Cipulir korban salah tangkap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 30 Juli 2019 | Foto Adam Prireza/Tempo

Masih ingat dalam ingatan publik, empat pengamen kasus salah tangkap di Cipulir. Awalnya mereka ini menemukan mayat pada 2013 lalu, lalu melaporkannya ke security. Untuk kebutuhan penyidikan, maka pihak kepolisian meminta mereka jadi saksi. Mereka mau menjadi saksi. Namun, dalam perkembangan kasus tersebut anak-anak di bawah umur tadi malah dituduh jadi pelaku pembunuhan tersebut.

Berdasarkan pengakuan di Najwa Shihab, mereka dipukuli oleh kepolisian untuk mengakui perbuatan yang sebenarnya bukan perbuatan mereka. Karena begitu sakitnya disiksa, akhirnya dengan terpaksa mengaku. Kasus ini pun berjalan, mereka mendekap di penjara selama tiga tahun. Meskipun pada akhirnya dibebaskan karena pelaku sebenarnya telah ditemukan. 

Artinya penegak hukum dalam hal ini, Polisi, Jaksa, dan Hakim, kurang teliti dalam menganalisis sebuah kasus. Padahal jika mereka salah menganalisis kasus, dampaknya begitu besar terhadap yang tertuduh. Ini menyangkut harga diri dan kehormatan anak-anak itu di kemudian hari, label pembunuh akan terus melekat pada personal mereka. Selain itu masa depan mereka telah dirampas negara melalui penegak hukumnya.

Penulis: Asmara Dewo, S.H., (Konsultan Hukum) 



Posting Komentar untuk "Bagaimana Dugaan Salah Tangkap Kasus Klitih di Yogyakarta?"