Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Masyarakat Terdampak Proyek Poltekpar dan Reklamasi di Manado?

Masyarakat Terdampak Proyek Poltekpar dan Reklamasi di Manado
Ilustrasi | Advokat Manado

Advokatmanado.com-Investasi memang perlu dilakukan oleh suatu negara untuk menyejahterakan masyarakat. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta meski tepat sasaran, bisa memberikan keuntungan konkret pada masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak pembangunan. Investasi untuk pembangunan bukan mengedepankan kepentingan investor saja, atau hanya keuntungan elit-elit penguasa yang terlibat dalam pembangunan investasi. Sebagaimana Pasal 3 ayat (3) huruf h Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal “Tujuan penyelenggaraan penananaman modal, antara lain untuk: Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Investasi seperti yang dilakukan pemerintah meskinya dibangun dengan cara-cara humanisme, partisipatif, transfaran, dan mengedepankan kebutuhan masyarakat. Bukan dengan cara-cara premansime, dengan cara culas, mengancam, memaki, mengintimidasi, dan melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang menolak atas pembangunan investasi. Hal ini terjadi sebagaimana yang dialami masyarakat Petani Kalasey Dua.

Satriano Pangkey dalam Catatan Akhir Tahun YLBHI-LBH Manado 2022 menguraikan bagaimana tragisnya Pemprov Sulut memporakporandakan warga, tanah petani digusur, posko perjuangan dihancurkan rata dengan tanah. Sebanyak 48 orang ditahan. Delapan orang petani mengalami penganiayaan mulai dari pemukulan dengan tangan kosong, pentungan, dan tameng. Petani dipiting, dicakar, ditendang, diinjak, serta dicaci dengan kata-kata kasar. Empat orang korban merupakan perempuan, dua di antaranya lanjut usia.

Kehidupan petani Kalasey Dua tidak menentu. Ada yang mengalami trauma, seakan sudah menjadi takdir para petani dianggap benalu bagi pembangunan. Bahkan anak-anak setelah lima bulan kejadian penggusuran takut setiap melihat Polisi. Cita-cita menjadi Polisi sirna, karena melihat kekejaman polisi waktu itu.

Penggusuran itu sendiri dilatari dengan SK No. 368 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Hibah Barang Milik Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara berupa tanah seluas 20 hektar di Desa Kalasey Dua kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tanggal 9 November 2021. Hibah ini digunakan untuk pembangunan Poltekpar Manado.

Sebelumnya pada 2012 Pemprov Sulut juga sudah menghibahkan tanah seluas 20 hektar ke Brimob secara sepihak. Denny juga menerangkan bahwa mayoritas petani yang memiliki lahan tidak mendapat ganti rugi. Pada 2019 sekitar sembilan hektar lahan petani kembali diserahkan kepada Dinas Kesehatan Pemprov Sulut untuk dijadikan Rumah Sakit. Selanjutnya tujuh hektar perkebunan aktif petani dicaplok dan diberikan ke Bakamla (Badan Keamanan Laut).

Perputaran ekonomi warga Kalasey Dua atas mengelola kebun seluas 20 hektar dengan total sekitar 100 petani bisa mendapatkan 500 juta per bulan. Selama perampasan lahan yang dialami petani Kalasey Dua, mereka selalu diiming-imingi akan mendapat keuntungan. Dari anak-anak petani akan diprioritaskan menjadi anggota Polisi, dipekerjakan menjadi Staf, Satpam, bisa berjualan dia area pembangunan, semua itu hanya janji palsu.

Menurut Menparekraf (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) Sandiaga Uno harapannya lulusan-lususan Poltekpar Manado mampu memenuhi sumber daya manusia yang berkualitas dan profesionalitas, SDM (Sumber Daya Manusia) yang terampil dan berdaya saing. Terlebih lagi Presiden menetapkan Provinsi Sulawesi Utara sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) tepatnya di Likupang, Kabupaten Minahasa Utara. Dan ditunjang oleh KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) yang diproyeksi akan menarik investasi hingga Rp5 triliun dengan lapangan kerja terbuka 65 ribu lebih dalam 10-15 tahun ke depan.

Hal yang sama dengan investasi Reklamasi di Teluk Kota Manado. Lahan reklamasi yang memanjang dari utara ke selatan Teluk Manado seluas 781.305 m2 yang pemrakarsanya ialah PT Bahu Cipta Persada (Blok I wilayah sekitar Bahu Mall), PT Multi Perkasa Nusantara (Blok II sekitar Manado Town Square, Blok III, dan Blok VI sekitar Marinah Plaza), PT Megasurya Nusalestari (Blok IV sekitar Kawasan Megamas), dan PT Papetra Perkasa Utama (Blok V). Reklamasi ini dibangun dengan tujuan ekonomis, yaitu untuk membangun pemukiman baru atau kompleks perdagangan.

Jean Maryke Adile dan kawan-kawan melalui jurnalnya yang berjudul “Perubahan Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan Setelah Reklamasi di Kelurahan Wenang Selatan” menyimpulkan bahwa proyek reklamasi telah merugikan masyarakat karena mengalami penurunan penghasilan. Masyakat mengalami penurunan kebutuhan ekonomi, kepemilikan peralatan melaut, dan penurunan pendapatan dan lingkungan tempat tinggal. Karena reklamasi telah merusak lingkungan pesisir, tidak adanya tambatan perahu, rusaknya terumbu karang, wilayah tangkapan semakin jauh, sehingga modal untuk menangkap ikan lebih tinggi. 

Penelitian yang dilakukan Hikmah Zougira dan Nanik Prasetyoningsih dalam jurnal “Analisis Dampak Reklamasi Pantai Manado dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia” mengungkapkan masyarakat nelayan terdampak tidak mendapatkan ganti rugi materil maupun immateril. Mayarakat nelayan terdampak akhirnya beralih profesi menjadi ABK (Anak Buah Kapal) di kapal milik asing yang pendapatnnya sangat jauh dari sebelumnya. Selain itu ada pula yang menjadi buruh karena Teluk Manado tidak layak lagi menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Rignolda Djamaluddin juga menjelaskan dampak reklamasi meminggirkan kehidupan nelayan sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan nelayan. Dan akhirnya banyak nelayan yang berganti profesi, sehingga jumlah nelayan makin menurun.

Mochtar Kusumaatmadja mengingatkan fungsi hukum dalam pembangunan nasional sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Pokok pikiran utamanya bahwa hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan itu merupakan sesuatu yang diinginkan dan mutlak perlu. Kedua bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (tool) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk menjamin kepastian dan ketertiban.

Pasal 34 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjelaskan “Reklamasi harus mempunyai manfaat ekonomi dan sosial yang besar dibandingkan dampak ekonomi dan sosialnya.”

Menurut Tigor yang ditulis Karina IS Sembiring pada buku “Sejarah Singkat Reklamasi” ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi dalam proyek reklamasi, yaitu: 1. tidak boleh mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup; 2. menjamin kehidupan masyarakat di sekitar proyek reklamasi; 3. reklamasi membawa manfaat publik dan sosial.

Penutup

Proyek Poltekpar dan Reklamasi telah merugikan meteril dan immateril masyarakat terdampak atas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak swasta. Begitu juga bagi nelayan di Teluk Kota Manado, pasca terjadinya reklamasi warga nelayan perekonomiannya memburuk. Mereka kesulitan untuk menambatkan perahu, terjadinya kerusakan di pesisir laut, dan harus pula lebih jauh menangkap ikan ke tengah laut sehingga banyak mengeluarkan modal. Akhirnya mereka beralih profesi menjadi buruh, yang penghasilannya jauh lebih rendah sebelum mereka menjadi nelayan.

Pasal 3 ayat (3) huruf h Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal “Tujuan penyelenggaraan penananaman modal, antara lain untuk: Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.” belum sepenuhnya terwujud. Sehingga pembangunan investasi tersebut belum menjadi sarana bagi warga petani dan warga nelayan menuju kehidupan yang lebih baik lagi.

Penulis: Asmara Dewo, Advokat dan Konsultan Hukum


Posting Komentar untuk "Bagaimana Masyarakat Terdampak Proyek Poltekpar dan Reklamasi di Manado?"