Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peran OJK dalam Mencabut Izin Usaha Asuransi Kresna Life

Peran OJK dalam Mencabut Izin Usaha Kresna Life | Advokat Manado

Profil PT Asuransi Jiwa Kresna

PT AJK (Asuransi Jiwa Kresna) atau dikenal Kresna Life merupakan perusahaan penyelenggara kegiatan usaha di bidang asuransi jiwa yang telah berdiri sejak 1991 di Jakarta dan telah memperoleh izin usaha sebagai perusahaan asuransi jiwa berdasarkan Surat Keputusan Departemen Keuangan Republik Indonesia qq Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri No. Kep554/KM.13/1991 tanggal 4 November 1991 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 935/MK.10/2009 tanggal 17 Juni 2009.

Komposisi pemegang saham PT AJK adalah PT Duta Makmur Sejahtera dengan kepemilikan sebesar 99,91% dan Michael Steven sebesar 0,09%. Susunan pengurusan PT AJK pada 2019 adalah Kurniadi Sastrawinata sebagai Direktur Utama, Antonius Indradi Sukiman sebagai Direktur Keuangan, Herry Wongso sebagai Direktur Marketing, Inggrid Kusumodjojo sebagai Komisaris Utama, Hotbonar Sinaga sebagai Komisaris Independen, dan Nurseto selaku Komisaris Independen. 

Kata Data memaparkan produk yang ditawarkan PT AJK ialah KLITA (Kresna Link Investa), Protecto Investa Kresna (PIK), Protecto Beasiswa Cerdas, Protecto Credit Life, dan Protecto Health Care. Perusahaan ini menawarkan produksi asuransi jiwa lengkap baik perorangan ataupun kelompok. PT AJK juga merupakan bagian dari Grup Kresna, yang dipimpin oleh PT Kresna Graha Investama. Perusahaan jiwa tersebut menguasai 13,77% dari saham PT Kresna Graha Investama Tbk. Berkode saham KREN, perusahaan bergerak di bidang investasi pada sektor teknologi. 

PT AJK juga memiliki saham di atas 5% di PT Asuransi Maximus Graha Tbk (ASMI), PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA), dan PT Danasupra Era Pasifik Tbk (DEFI). Sedangkan di bawah 5% PT AJK memiliki saham di PT City Development Tbk (NIRO) dan PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), sebagaimana dalam laporan CNB Indonesia. 

Marini Yanuarsih menjelaskan dugaan tindak pidana di PT Asuransi Jiwa Kresna sudah dilakukan 2 (dua) kali. Pemeriksaan dugaan yang pertama adalah terkait transaksi saham dan pemeriksaan kedua terkait dengan pelaksanaan dari perintah tertulis yang sudah ada indikasi tindak pidana. Hal tersebut diterangkannya pada sidang dalam No. 475/G/2023/PTUN.JKT.

Kronologi Permasalahan PT Asuransi Jiwa Kresna

Mengutip dari CNB Indonesia, terendusnya permasalahan PT AJK (Asuransi Jiwa Kresna) atau Kresna Life bermula pada 20 Februari 2020, ketika itu PT AJK mengirimkan surat kepada seluruh nasabah untuk menunda pembayaran polis. Lewat surat tersebut, PT AJK menyatakan Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) Kresna Life tidak terkait dengan surat berharga yang tengah diselidiki oleh Kejagung (Kejaksaan Agung) atas kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). PT AJK juga menegaskan rekening mereka tidak terkait dengan kasus Jiwasraya. Terungkap bahwa portofolio produk PT AJK banyak berbasis saham perusahaan terafiliasi.

PT AJK kembali mengirimkan surat kepada seluruh nasabahnya pada 14 Mei 2020 yang isinya mereka mengakui mengalami masalah likuiditas pada portofolio investasi sehingga perseroan memutuskan untuk menunda pembayaran polis jatuh tempo sejak 11 Februari 2020 hingga 10 Februari 2021. PT AJK juga menghentikan pembayaran manfaat terhitung sejak 14 Mei 2020 hingga Februari 2021. Empat hari kemudian, pada 18 Mei 2020 PT AJK kembali mengirim surat yang intinya menyatakan sedang menyusun skema penyelesaian kewajiban perusahaan dan akan disampaikan kepada pemegang polis selambat-lambatnya 30 hari sejak surat terbit. 

Sebulan pasca pengiriman surat itu, PT AJK tidak menepati janjinya, malah kembali mengirimkan surat ke nasabah. Perseroan menuturkan tahap pertama pembayaran hanya diberikan pemegang polis K-LITA dan PIK senilai 50 juta. Sementara itu mekanismenya disampaikan dalam tujuh hari kerja sejak surat terbit. Kemudian pada 17 Juli 2020, PT AJK justru memberitahukan penyelesaian tahap berikutnya, yakni polis dengan nilai di atas 50 juta diundur menjadi 3 Agustus 2020.  Para nasabah akhirnya melaporkan PT AJK kepada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). 

Mereka mendatangi langsung kantor OJK di Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan selama tiga hari berturut-turur pada 22 sampai 24 Juli 2020. Pada 14 Agustus OJK menerbitkan surat OJK No. S-342/NB.2/2020 yang isinya membekukan kegiatan usaha PT AJK. OJK mengawasi untuk memastikan PT AJK membayarkan kewajibannya kepada nasabah.

PT AJK kemudian mengajukan RPK (Rencana Penyehahatan Keuangan) pada 15 Februari 2023 dengan skema penyelesaian berupa konversi klaim pemegang polis menjadi subordinated loan. OJK menyetujui RPK tersebut, dan memberi waktu sampai Juni 2023 untuk menyelesaikannya. Tetapi sampai batas waktu yang ditentukan, setoran modal dan perjanjian subordinated loan tidak kunjung diterima. Kemudian pada 21 Juni 2023 Michael Steven selaku pemilik AJK menjumpai OJK. Michael menganggap permintaan setoran modal lebih dari satu triliun yang diminta OJK lebih baik digunakan untuk melunasi pemegang polis. Tiga hari kemudian, 23 Juni 2023 izin usaha PT AJK dicabut OJK.

Tidak terima dicabut izinnya, PT AJK mengajukan gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) pada Pengadilan Negeri Jakarta dan 23 Februari 2024 gugatan PT AJK dimenangkan, memerintahkan untuk mencabut Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-42/D.05/2023 tanggal 23 Juni 2023 Tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT Asuransi Jiwa Kresna dan mencabut Surat Perintah Tertulis Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, Dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan Nomor S-30/D.05/2023 tanggal 23 Juni 2023. Akhirnya pada Maret 2024 OJK mengajukan upaya banding atas putusan PTUN tersebut.

Analisis Pencabutan Izin Kresna Life

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diamanahkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum.” maka dalam menjalankan pemerintahannya selalu berlandaskan hukum yang berlaku. Hadirnya hukum bertujuan untuk: 1. kepastian hukum; 2. keadilan hukum; 3. manfaat hukum. 

Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Sebagaimana mengutip Budi Astuti dan Rusdi Daud “Kepastian Hukum Pengaturan Transportasi Online”. 

Gustav Radbruch mengkategorikan empat hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh diubah.

Permasalahan yang terjadi di perasuransian menjadi kekhawatiran bagi pemegang polis yang berharap klaimnya bisa terpenuhi. Harapan itu terkadang tidak menjadi kenyataan, karena premi yang dibayarnya setiap bulan tidak bisa dikelola dengan baik oleh pihak asuransi. Hal itu terjadi pada PT AJK (Asuransi Jiwa Kresna) atau Kresna Life. Oleh sebab itu perlunya kepastian hukum agar PT AJK jelas tidak memakan korban-korban selanjutnya. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) selaku lembaga yang berwenang mengawasi, membekukan, dan mencabut izin usaha, harus bisa memberikan kepastian hukum, memberikan manfaat, dan keadilan.

Pencabutan izin PT AJK sebagai perusahaan asuransi jiwa karena sampai batas akhir status pengawasan khusus, rasio solvabilitas (risk based capital) PT AJK tetap tidak memenuhi ketentuan minimum yang disyaratkan sesuai ketentuan berlaku. PT AJK tidak mampu menutup defisit keuangan, yaitu selisih kewajiban dengan aset, baik melalui setoran modal oleh pemegang saham pengendali atau mengundang investor.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menjelaskan “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Di antara tugas pengawasan sebagaimana Pasal 9 UU No. 21/2011 “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: 

g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 

h. memberikan dan/atau mencabut: 1. izin; 2. izin orang perseorangan; 3. efektifnya pernyataan pendaftaran; 4. surat tanda terdaftar; 5. persetujuan melakukan kegiatan usaha; 6. pengesahan; 7. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan 8. penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Diperkuat pula pada Pasal 70 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian “Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.”

Pasal 71 ayat (2) UU No. 40/2014 menegaskan “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; d. pencabutan izin usaha;

Lihat juga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 17 Tahun 2017 tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. 

Pasal 2 ayat (1) Peraturan OJK No. 17/2017 menjelaskan “Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan peraturan pelaksanannya.”

Pasal 2 Ayat (2) Peraturan OJK No. 17/2017 menjelaskan “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; c. larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; d. pencabutan izin usaha." 

Pasal 6 ayat (1) Peraturan OJK No. 17/2017 menjelaskan “Perusahaan perasuransian dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha apabila perusahaan perasuransian tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha sampai dengan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) huruf b."

Pasal 6 ayat (2) Peraturan OJK No. 17/2017 menjelaskan “Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha kepada perusahaan perasuransian tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain, dalam hal: a. kondisi keuangan perasuransian memburuk secara drastis."

Direktur Pengawasan Khusus Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan I Wayan Wijana dalam kesaksiannya pada perkara No. 475/G/2023/PTUN.JKT yang menerangkan PT AJK sudah mengalami permasalahan defisit permodalan, tingkat kesehatan tidak memenuhi ketentuan sekitar tahun 2020. Sejak itu PT AJK dikenakan sanksi berjenjang peringatan 1, 2, dan 3 sampai pada sanksi PKU (Pembatasan Kegiatan Usaha). Defisit permodalan yaitu kurangnya sejumlah aset untuk menutup kewajiban PT AJK kepada pemegang Polis.

Tindakan tersebut sudah sesuai pada Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, serta Pasal 2 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 17 Tahun 2017 tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP42/D.05/2023 tanggal 23 Juni 2023 Tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Jiwa atas PT Asuransi Jiwa Kresna juga telah sesuai dengan Pasal 9 huruf h UU No. 21/2011, Pasal 71 ayat (2) huruf d UU No. 40/2014, dan Pasal 6 ayat (1) Peraturan OJK No. 17/2017.

Perlindungan terhadap masyarakat, khususnya pemegang polis meski dilindungi hukum dan dilakukan upaya-upaya pembelaan sebagaimana dilakukan OJK dalam menangani permasalahan PT AJK sebagaimana Pasal 28 UU No. 21/2011 “Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi: a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.”

Kesulitan keuangan yang dialami PT AJK telah sesuai pula dicabut izinnya sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang merupakan UU dengan metode omnibus dengan membentuk dan merevisi beberapa UU terkait di sektor keuangan. Pasal 79 UU PPSK mengamanatkan program penjaminan polis yang bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransidan perusahaan asuransi syariah yang dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan.

Kesimpulan

Demi terselenggaranya tujuan hukum dalam permasalahan persuransian peran OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sangan penting di Indonesia. Terlebih lagi begitu banyaknya permasalahan perusahaan asuransi yang kerap menimbulkan kerugian bagi masyarakat Indonesia, khususnya para nasabah. Namun dalam proses penegakan hukumnya terkadang mengalami jalan terjal sebagaimana menghadapi Kresna Life. Meskipun harus diakui pula setiap warga negara berhak mengajukan berbagai upaya perlawanan hukum jika menurutnya itu tidak adil.

Perjalanan hukum masih panjang, OJK masih terus berupaya melakukan banding, semoga pengadilan PTTUN Jakarta bisa memberikan rasa keadilan. Karena jika kasus ini berhenti di PTUN Jakarta yang memenangkan Krensa Life, ini cukup berbahaya bagi perusahaan asuransi yang bermasalah jika dicabut izinnya melawan dengan mengajukan gugatan di PTUN. Ini juga sebagai pengingat agar perusahaan asuransi meski benar-benar menjalankan fungsinya dan mengutamakan kepentingan para nasabahnya dibandingkan hal lainnya.

Penulis: Asmara Dewo, Advokat dan Konsultan Hukum

Posting Komentar untuk "Peran OJK dalam Mencabut Izin Usaha Asuransi Kresna Life"