Pondol Keraton Bersatu Terus Melawan “Hukum Rimba” PN Manado
| Komisi Yudisial | Foto Ari Saputra |
Perbuatan “hukum rimba” tanpa proses hukum yang dilakukan PN Manado mencederai penegakan hukum dan menghina rasa keadilan masyarakat. Meskinya jika mereka dianggap ilegal tinggal di Pondol Keraton, PN Manado mendorong proses hukumnya di peradilan. Selain itu, warga sudah berkali-kali menjelaskan rumahnya tidak masuk daftar eksekusi, tapi PN Manado dengan angkuhnya mengatakan, “Jika keberatan atas eksekusi ini silahkan ajukan gugatan.”
Negara model apa ini? Bukankah Indonesia negara hukum (rechsstaat)? Tapi wajah Indonesia melalui PN Manado malah mencitrakan negara kekuasaan (machtsstaat), sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum.” PN Manado telah menyalahgunakan kewenangannya, seharusnya pengadilan memeriksa dahulu perkara, mengadili, dan memutuskan permasalahan hukum tersebut.
A.V. Diecy, seorang ahli hukum, mengenalkan teori negara hukum yang harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: 1. Supremasi hukum; 2. Persamaan kedudukan di depan hukum; 3. Terjaminnya hak-hak asasi manusianya. Jika mengacu pada teori A.V. Diecy, maka perbuatan PN Manado tidak mencerminkan negara hukum. Pertama, Karena PN Manado menggusur tanpa proses hukum. Kedua, PN Manado tidak mendengar argumentasi warga yang rumahnya yang akan dirobohkan. Ketiga, PN Manado melanggar hak asasi manusia warga Pondol Keraton dengan penggusuran semena-mena.
Warga Pondol Keraton dijamin hukum melalui Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Selanjutnya pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Kemudian dipertegas pula pada Pasal 29 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga kehormatan, martabat, dan hak miliknya.” dan pada Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”
Selain itu, PN Manado juga telah mengangkangi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966. Kovenan itu kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Pada pasal 11 Kovenan dengan tegas menjelaskan “Negara pihak pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan sukarela.”
Oleh karena itu negara harus bertanggungjawab atas perbuatan “hukum rimba” PN Manado. Negara harus bisa memberikan keadilan terhadap Warga Pondol Keraton yang dihinakan PN Manado. Aliansi juga berharap Komisi Yudisial bisa adil, jujur, independen, dan berintegritas saat memeriksa pengaduan Warga Pondol keraton. Karena Aliansi percaya, hukum rimba bukan hukum yang berlandaskan moral kemanusiaan, dan tidak patut untuk diterapkan di negara hukum seperti Indonesia.
Penulis: Asmara Dewo
Posting Komentar untuk "Pondol Keraton Bersatu Terus Melawan “Hukum Rimba” PN Manado"