Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kekuatan Hukum Surat Pernyataan Sepihak dan Surat Perjanjian

 

Surat Pernyataan Sepihak | Asmara Dewo, Advokat Manado
Surat Pernyataan Sepihak | Asmara Dewo, Advokat Manado

Advokatmanado.com-Bagaimana kekuatan hukum Surat Pernyataan sepihak? Apakah surat pernyataan itu jika dilanggar bisa dituntut di pengadilan? Ini adalah pertanyaan yang cukup sering muncul di tengah masyarakat.


Bahkan tak jarang pula masih ada saja jika ada suatu kasus, biasanya pihak yang merugikan membuat Surat Pernyataan yang isinya akan melakukan suatu hal (prestasi), dan jika tidak melakukan itu bersedia dilanjutkan ke ranah hukum.


Lalu apakah Surat Pernyataan itu sama halnya dengan Surat Perjanjian?


Semoga dengan membaca panduan hukum yang kami tulis ini bisa memberikan referensi atau pencerahan pembaca dan masyarakat, agar lebih bijak dalam menghadapi suatu kasus.


Mengutip Buku Pintar Hukum, Strategi Praktis Menyelesaikan Masalah-Masalah Hukum, Hal. 96, yang ditulis Teguh Sri Raharjo dan Abd. Muin Dj Finarto menjelaskan sebagai berikut:


Surat Pernyataan adalah pernyataan seseorang pada suatu hal. Sedangkan perjanjian mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Terhadap perbuatan hukum yang terjadi antara pihak satu dengan yang lainnya di mana para pihak tersebut ingin dilindungi/diberi payung hukum terkait dengan perbuatan hukum yang telah dilakukan, maka bentuk yang paling tepat adalah dengan menuangkannya dalam Surat Perjanjian.


Dengan diberi payung Surat Perjanjian tersebut maka hal-hal yang menjadi materi perbuatan hukum kedua belah pihak menjadi aman, terutama jika ada pihak yang melanggar kewajibannya di kemudian hari akan diketahui secara jelas pelanggaran yang dimaksud, termasuk sanksi yang harus dipenuhinya. 


Dengan adanya perjanjian akan jelas seluruh hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh para pihak dalam hubungan hukum yang dilakukannya. 


Pelanggaran oleh salah satu pihak terhadap perjanjian tersebut, tentunya akan berimbas pada kerugian yang dialami pihak lain, sehingga merupakan sesuatu yang dilindungi oleh undang-undang apabila pihak yang melakukan pelanggaran dikenai sanksi atau kewajiban mengganti kerugian atas kesalahan yang dilakukannya.


Terkait dengan penerapan sanksi atau kewajiban terhadap pelanggaran suatu perjanjian oleh salah satu pihak sepenuhnya diserahkan kepada para pihak untuk menentukannya berdasarkan pada suatu kesepakatan, asalkan sanksi atau kewajiban itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, nilai-nilai kepatutan dan kewajaran. 


Perlu diketahui bahwa sahnya perjanjian adalah adanya mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perjanjian, dari sesuatu yang tertentu dan suatu kausa yang halal (Pasal 1320 KUH Perdata/Burgerlijk Wetboek). 


Demikian pula bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang berbuat (Pasal 1318 KUH Perdata). 


Sanksi atau kewajiban yang dianggap berlebihan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan kewajaran, dapat dimintakan pengadilan untuk menentukannya. 


Dengan demikian jika hanya dikemas dengan menggunakan Surat Pernyataan, maka hal tersebut jelas-jelas kurang/tidak kuat untuk memayungi perbuatan hukum tersebut, terlebih pernyataan dibuat secara sepihak, sehingga dapat dicabut. 


Namun, pada umumnya dalam pembuatan Surat Pernyataan, kebanyakan orang mencantumkan saksi untuk mendukung materi pernyataan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi jika pihak pembuat pernyataan tersebut ingkar, maka saksi-saksi yang ada dapat diminati keterangan terhadap pernyataan orang yang memberikan pernyataan tersebut.


Nah, teman-teman, lalu solusinya bagaimana jika terlanjur sudah membuat Surat Pernyataan. Sementara Anda adalah pihak yang dirugikan. 


Sebelum menjawab hal tersebut alangkah baiknya memahami dulu apa yang dimaksud dengan alat bukti berdasarkan hukum perdata, sebagaimana mengutip laman Kemenkeu  yang ditulis Prilla Geonestri Ramlan.


Alat bukti hukum perdata | Asmara Dewo, Advokat Manado
Alat bukti hukum perdata | Asmara Dewo, Advokat Manado

1. Surat

Menurut Sudikmo Mertokusumo, surat adalah sesuatu yang memuat tanda yang dapat dibaca dan menyatakan suatu buah pikiran di mana buah pikiran tersebut bisa dipakai sebagai pembuktian. Alat bukti surat terdiri dari dua jenis, yakni:


a. Akta

Akta adalah surat yang sengaja sejak awal dibuat untuk pembuktian. Akta terdiri dari:

(1) Akta Autentik

Menurut Pasal 1868 BW, akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa di tempat di mana akta dibuat.


Adapun yang dimaksud dengan pegawai-pegawai umum tersebut adalah notaris, polisi, dan hakim.

(2) Akta di Bawah Tangan 

Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang membuatnya serta mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Akta di bawah tangan tidak dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.


Akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang seperti notaris, namun hanya dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.


b. Surat Biasa

Surat biasa merupakan alat bukti yang awalnya tidak diperuntukkan untuk dijadikan bukti, namun jika suatu hari alat bukti surat tersebut bisa membuktikan suatu perkara di pengadilan. Maka alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan sebagai pembuktian. 


2. Saksi-Saksi

Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian di depan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri, dengar sendiri atau alami sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara.


Keterangan seorang saksi harus disampaikan secara lisan dan pribadi artinya tidak boleh diwakilkan kepada orang lain dan harus dikemukakan secara lisan di sidang pengadilan.


Pada prinsipnya setiap orang boleh menjadi saksi kecuali orang tertentu yang tidak dapat didengar sebagai saksi, antara lain: 

a. Keluarga sedarah dan semenda;

b. Istri atau suami, meskipun telah bercerai;

c. Anak-anak yang umurnya di bawah 15 tahun;

d. Orang Gila.


3. Persangkaan

Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR. Dan Pasal 1915 KUH Perdata dikenal dengan dua persangkaan, yaitu:

a. Persangkaan yang didasarkan atas undang-undang (praesumtuones juris); dan

b. Persangkaan berdasarkan kenyataan (praesumtiones factie).


Sedangkan dalam Pasal 1916 KUH Perdata yang ditentukan sebagai persangkaan sebagai berikut:

(1) Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-undang;

(2)  Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna menerapkan hak kepemilikan atau pembebasan dari utang;

(3) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada keputusan hakim;

(4) Kekuatan yang diberikan oleh undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak.


4. Pengakuan

Pengakuan dalam HIR (Herziene Inlandsch Reglement) diatur dalam Pasal 174, 175, dan Pasal 176. Apabila melihat ketentuan Pasal 164 HIR, maka jelas pengakuan menurut undang-undang merupakan salah satu alat bukti dalam proses penyelesaian perkara perdata.


Berdasarkan Pasal 1926 KUH Perdata, pengakuan dapat dilakukan baik langsung oleh orang yang bersangkutan maupun oleh orang lain yang diberi kuasa khusus untuk itu, baik secara lisan maupun tulisan.


Menurut Pasal 174 HIR, pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat. Sedangkan pengakuan di luar sidang, menurut Pasal 175 HIR, kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim atau dengan kata lain pengakuan di luar sidang, berarti hakim leluasa untuk memberi kekuatan pembuktian atau hanya menganggapnya sebagai bukti permulaan.


5. Sumpah


Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, 156, 157, 158, dan 177 HIR. Alat bukti sumpah dapat digunakan sebagai upaya terakhir dalam membuktikan kebenaran dari suatu proses perkara perdata.


Menurut Sudikno Mertokusumo, sumpah merupakan suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.


Dalam Hukum Acara Perdata dikenal tiga macam sumpah sebagai alat bukti:


a. Sumpah Pelengkap (Suppletoir)

Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. Sumpah pelengkap diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RGB (Rectreglement voor de Buitengewesten).


b. Sumpah Penaksiran (Aestimatoir)

Merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian. Syarat pembebanan sumpah penafsiran adalah kesalahan pihak tergugat telah terbukti, namun jumlah kerugian sulit ditentukan.


Sumpah penafsiran diatur dalam Pasal 155 HIR/Pasal 182 RGB/Pasal 1940 KUH Perdata.


c. Sumpah Pemutus (Decisoir)

Merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu melalui perantaraan hakim diperintahkan kepada pihak lainnya untuk menggantungkan pemutusan perkara tersebut. Sumpah decisoir merupakan upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara yang keberadaannya diatur dalam Pasal 156, 157, 177 HIR.


Surat Pernyataan bahkan dianggap tidak bernilai apa-apa jika merujuk  Putusan Mahkamah Agung No. 3901 K/Pdt/1985, Surat Pernyataan adalah Surat Bukti pernyataan belaka dari orang-orang yang memberi pernyataan tanpa diperiksa di persidangan, sehingga tidak mempunyai pembuktian apa-apa (tidak dapat disamakan dengan kesaksian). 


Dalam menghadapi hukum perdata titik beratnya adalah dengan pembuktian. Jadi jika alat buktinya sangat kuat, akan menentukan putusan hakim pada yang memegang alat bukti tersebut. 


Pertanyaannya, bagaimana jika teman-teman adalah orang yang dirugikan dalam sebuah Surat Pernyataan? Memang Surat Pernyataan itu bisa sebagai alat bukti karena tergolong Akta di Bawah Tangan. Namun hal itu harus diakui oleh si pembuat pernyataan. Sebaliknya, jika si pembuat Surat Pernyataan tidak mengakuinya, maka harus pula diujikan di depan hakim apakah tulisan dan/atau tanda tangan itu dia yang memang menuliskannya. 

Pasal 1876 KUH Perdata | Asmara Dewo, Advokat Manado
Pasal 1876 KUH Perdata | Asmara Dewo, Advokat Manado


Pasal 1876 KUH Perdata menyebutkan “Barang siapa dihadapi dengan suatu tulisan di bawah tangan oleh orang yang mengajukan tuntutan terhadapnya, wajib mengakui atau memungkiri tanda tangannya secara tegas. Namun bagi ahli warisnya atau orang yang mendapat hak darinya, cukuplah mereka menerangkan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.”


Sudikno Mertokusumo menjelaskan sebagaimana dikutip dari Evi dalam Jurnal Hukum Universitas Palangkaraya, kekuatan pembuktian di bawah tangan, orang terhadap siapa akta di bawah tangan digunakan wajib membenarkan (mengakui) atau memungkiri tanda tangannya. Dalam hal tanda tangan dipungkiri, maka hakim harus memerintahkan agar kebenaran akta itu diperiksa. Baru kalau tanda tangan diakui oleh yang bersangkutan, maka akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi bukti sempurna.


Jika orang tersebut tidak dapat dihadirkan di persidangan, maka Surat Pernyataan tersebut tidak memiliki kekuatan pembuktian apapun, sehingga dapat dikesampingkan di persidangan. Putusan Mahkamah Agung No. 955/K/Sip/1972 “Pengadilan Negeri dapat mengesampingkan surat-surat pernyataan dari orang-orang yang tanpa didengar sebagai saksi menurut hakim.”


Surat Pernyataan bukan alat bukti yang kuat,  hanya bisa sebagai dasar dapat dijadikan sebagai alat bukti. Dan untuk menguatkannya harus didukung alat bukti lain, saksi-saksi, dan pihak-pihak yang termuat dalam Surat Keterangan tersebut.


Saran kami adalah teman-teman bisa membuat Surat Perjanjian ulang di bawah pejabat yang berwenang, seperti Notaris, sebagaimana akta autentik Menurut Pasal 1868 BW yang mengatur sebagai alat bukti di kemudian hari jika salah satu pihak wanprestasi atas perjanjiannya.


Nah, jika si pembuat Surat Pernyataan tidak mau membuat Surat Perjanjian, padahal sudah disampaikan dan dijelaskan secara baik-baik dengan rasa kekeluargaan, maka jalan yang ditempuh adalah menggugat yang bersangkutan di Pengadilan yang berwenang. 


Karena jika yang bersangkutan sudah meninggal atau sakit, sehingga tidak bisa dihadirkan di depan persidangan, maka Surat Pernyataan itu tidak bernilai apa-apa di mata hukum.


Penulis: Asmara Dewo (Konsultan Hukum) dan Fredy Andriadi, Managering Kantor Hukum FA & Sahabat, Majelis Anggota Wilayah PBHI Yogyakarta


Posting Komentar untuk "Kekuatan Hukum Surat Pernyataan Sepihak dan Surat Perjanjian"