Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seorang Guru Diduga Melakukan Kekerasan Seksual Terhadap Murid di Sekolah

Ilustrasi korban KS

Advokatmanado.com-Seorang guru PNS berinisial AK yang mengajar di salah satu sanggar di Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, diduga melakukan kekerasan seksual terhadap muridnya. Tindakan kekerasan seksual ini bukan kali pertama dialami korban, melainkan sudah terjadi untuk kedua kalinya. Meskipun sebelumnya kasus ini telah dilaporkan ke pihak berwajib, pelaku justru kembali mengulangi perbuatannya.

Kejadian pertama terjadi pada Selasa, 6 Agustus 2024, sekitar pukul 18.00 WITA, di salah satu sanggar belajar di Bolo. Setelah pulang sekolah, korban mengeluh kepada ibunya karena merasakan sakit pada bagian anus. Ketika ditanya penyebabnya, korban menjelaskan bahwa ia dipanggil oleh pelaku, lalu digendong dan dibawa ke sebuah mobil perpustakaan yang rusak di samping aula PAUD.

Saat itulah pelaku mulai melancarkan aksinya dengan membuka dan menurunkan celana korban, lalu memasukkan jarinya ke lubang anus korban. Kasus ini telah dilaporkan oleh ibu korban ke Polres Bima pada 9 Agustus 2024. Namun, proses hukum saat itu tidak berjalan karena dianggap kurang alat bukti.

Kejadian kedua terjadi pada Selasa, 20 Juli 2025, sekitar pukul 18.00 WITA. Saat ibu korban sedang membersihkan anus anaknya setelah buang air besar, korban kembali mengeluh merasakan sakit di area tersebut. Ketika ditanya, “Kenapa sakit?”, korban menjawab, “Seperti dulu lagi,” karena teringat kembali kekerasan seksual yang dialaminya dari pelaku yang sama.

Akhirnya ibu mendesak terus agar anak berterus-terang terkait bagaimana kronologi yang dia alami. Korban pun bercerita, pada saat di sekolah di salah satu ruangan bermain celananya dipelorotin oleh pelaku. Kemudian menurut keterangan korban, anusnya dimasukkan koin oleh pelaku.

Setelah selesai melakukan kekerasan seksual terhadap korban, pelaku menyuruh korban untuk tidak keluar ruangan dulu dan pelaku juga mengancam, “Diam! Jangan kasih tau siapa-siapa nanti lehernya akan dipotong.” Karena ancaman itu korban tidak berani memberitahukan ke siapa pun mengenai kejadian ini, termasuk  ke ibunya. Akibat kejadian tersebut anus korban sakit dan memerah.

Ibu korban berharap kasus ini dapat ditindak lanjuti dengan segera agar tidak terjadi lagi. "Kami harap kasus ini diatensi dengan baik oleh pihak kepolisian, karena aksi terduga ini sudah dua kali terhadap anak saya," pintanya. Kasus kedua ini telah dilakukan pelaporan ke Polsek Bolo.

Kapolsek Bolo Melalui Kanit Reskrim Bripka Rusdin membenarkan pihaknya telah menerima laporan dari orang tua korban atas dugaan pencabulan anak. Dan kasusnya kini telah dilimpahkan ke Unit PPA Sat Reskrim Polres Bima. “Minggu malam kemarin ( 20/7/25) kita terima laporannya. Dan saat itu juga anggota kita langsung bergerak mengamankan terduga pelaku, lalu dibawa ke Mapolres Bima untuk diperiksa lebih lanjut,” pungkasnya.

 

Analisis Hukum

Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, sering berdalih tidak dapat melanjutkan perkara kekerasan seksual karena kekurangan alat bukti. Akibatnya, mereka mengeluarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dengan isi sebagai berikut:

  1. Perkara tidak dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan karena belum terdapat bukti permulaan yang cukup;
  2. Apabila di kemudian hari ditemukan bukti baru terkait perkara tersebut, maka penyelidikan dapat dibuka kembali

Sebenarnya alat bukti perkara kekerasan seksual sudah diperluas sebagaimana Pasal 24 Undang Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS):

“(1) Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.”; (2) Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik; (3). Termasuk alat bukti surat yaitu: a. surat keterangan psikolog klinis dan/ atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa; b. rekam medis; c. hasil pemeriksaan forensik; dan/atau d. hasil pemeriksaan rekening bank.”

Korban kekerasan seksual seharusnya segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan visum et repertum setelah laporan polisi dibuat di Polres atau Polda. Hasil visum ini akan menjadi bukti surat dalam perkara tersebut. Korban juga perlu dirujuk ke UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) di tingkat kabupaten/kota atau provinsi untuk dilakukan asesment. Hasil pemeriksaan psikolog dari UPTD PPA ini juga dapat menjadi bukti surat yang menguatkan visum sebelumnya.

Sementara itu, korban, orang tua korban, atau keluarga korban lainnya akan menjadi saksi atas kekerasan seksual yang dialami korban. Dengan demikian, setidaknya sudah terdapat dua alat bukti yang cukup untuk membawa kasus ini ke tahap penyidikan, bahkan hingga ke persidangan.

Lihat Pasal 25 ayat (1) UU TPKS menjelaskan “Keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah.” Jadi tidak ada alasan bagi Penyidik untuk menghentikan perkara karena belum cukupnya alat bukti.

Selain itu Penyidik biasanya juga bersikeras bahwa tidak menggunakan UUTPKS, tetapi Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Pun begitu, Penyidik bisa menggunakan hukum formil dari UU TPKS, karena UU TPKS tidak hanya memuat hukum materil saja, tetapi hukum formilnya.

Hal ini sejalan dengan wawancara yang dilakukan IJRS terhadap Jaksa Ahli Madya pada Biro Perencanaan Kejaksaan Agung RI, Erni Mustika Sari, dijelaskan bahwa Pasal 2 ayat (2) huruf j UU TPKS mengadopsi konsep blanco strafbepaling. Melalui konsep blanco, pasal ini menjangkau ketentuan peraturan perundang undangan yang sudah dan akan datang yang tidak disebutkan pada Pasal 4 ayat (2) huruf a sampai i. Sehingga Pasal Pasal di luar UU TPKS, yang disebutkan sebagai TPKS tetap digabungkan dalam satu kualifikasi sebagai TPKS dalam undang undang ini.

Sebagai implikasinya segala ketentuan terkait hukum formil dari tindak pidana tersebut, meskipun dipidana berdasarkan aturan di luar TPKS harus tunduk pada pengaturan hukum cara yang ada dalam UU TPKS. Pengaturan hukum formil pada UU TPKS merupakan lex spesialis dari pengaturan yang ada dalam KUHAP. Hal ini bertujuan untuk melindungi, memberikan, mekanisme penanganan korban TPKS, pembuktian, dan lain sebgainya yang tidak diatur oleh undang undang lain (Siti Ismaya, dkk, 2024).

Tak kalah pentingnya bisa mempelajari yurisprudensi Perkara Nomor 433/Pid.Sus/2023/PN Mtr yang telah menerapkan Pasal 6 huruf C Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim memvonis terdakwa dengan pidana 13 tahun penjara, denda 100 juta, dan membayar restitusi 6,5 juta. Lihat juga pada yurisprudensi Perkara Nomor  72/Pid.Sus/2023/PN Pdl yang menerapkan Pasal 15 ayat (1) huruf g juncto Pasal 6 huruf c UU TPKS dan terdakwa divonis penjara selama enam tahun dan denda Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

Berdasarkan kronologi kekerasan seksual di atas, pelaku bisa dijerat dengan Pasal 6 huruf c UU TPKS “Dipidana karena pelecehan seksual fisik: c. Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana dengan paling banyak Rp 300.000.000,00” Juncto Pasal 15 ayat (1) huruf huruf b, e, dan g UU TPKS “Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 ditambah 1/3, jika: a. …dilakukan oleh pendidik; e. dilakukan lebih dari satu kali; g. dilakukan terhadap anak.”

Jadi dalam perkara kekerasan seksual sungguh tidak beralasan jika Penyidik menunda proses hukum, atau menghentikan perkara dengan alasan kurang alat bukti. Polisi meski menuntaskan segala bentuk perkara kekerasan seksual yang diterimanya, sebagaimana Polres Bima yang menghentikan perkara karena kurang alat bukti, pada laporan pertama Agustus 2024 lalu. Akibat tidak berspektif korban dan Hak Asasi Manusia, korban mengalami kekerasan seksual yang kedua kalinya oleh pelaku. Ini meskinya menjadi evaluasi bagi Polres Bima untuk lebih serius dalam penanganan kekerasan seksual.

Penulis: Asmara Dewo

Posting Komentar untuk " Seorang Guru Diduga Melakukan Kekerasan Seksual Terhadap Murid di Sekolah"