Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Lagi Nasib Buruh Informal di Sulawesi Utara

Ilustrasi buruh informal
Ilustrasi buruh informal | Foto Kateryna Babaieva/Pexels.com

Advokatmanado.com-Menggerakkan perusahaan dari mencari bahan mentah sampai ke tangan konsumen adalah buruh. Buruh pula yang melipatgandakan keuntungan pemodal atau pemilik perusahaan. Dan buruh yang bertanggung jawab atas kerjanya ke majikan. Namun, jika kondisi perusahaan berubah, keuntungan menyusut, maka buruh menanggung akibatnya. Pihak perusahaan dengan kejam mem-PHK (Putusan Hubungan Kerja) secara sepihak.

Kita tidak melihat jika perusahaan untung berkali-kali lipat, maka upah buruh juga berkali-kali lipat pula. Buruh tetap diupah sebatas hak dan waktunya bekerja. Jika gajinya berlebih itu karena adanya jam kerja yang lebih. Kalaupun ada perusahaan memberikan bonus atas prestasi buruh, sebenarnya itu juga tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan buruh atas tenaga, waktu, pikiran, dan pengorbanannya.

Ketidakadilan ini pula yang mengakumulasikan kemarahan buruh pada pengusaha. Terlebih lagi pemerintah memberikan solusi “pembiaran” atas segala persoalan yang terjadi antara buruh dengan pengusaha. Dan puncak kemarahan buruh nasional adalah pemerintah melahirkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pengkategorian buruh juga sangat miris. Di tengah publik dikenal dengan buruh formal dan buruh informal. Padahal sudah jelas, buruh adalah kelas yang memproduksi barang dan jasa. Sebagaimana pengertian buruh pada Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Jadi sesederhana itu saja memahami buruh. Lalu mulai kapan ada istilah buruh informal dikonsumsi masyarakat?

Lineke Stine Kuemba dalam jurnalnya yang mengutip dari Hesti R. Wijaya memaparkan, Buruh informal mulai dikenal dunia awal tahun 1970-an dari suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai definisi dan pengertian dibuat orang. Pengertian yang populer dari pekerjaan informal pada awalnya adalah sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki, sejak skala tanpa melamar, tanpa izin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun. 

Selanjutnya menggunakan sumber daya lokal, baik sebagian buruh ataupun usaha milik sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga yang padat karya, teknologi adaptif, dengan modal lumayan dan bangunan secukupnya. Mereka tidak terorganisir dan tidak terlindungi hukum.

Pasal 1 Ayat 32 Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan “Pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan.”

Buruh informal selama ini juga masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Keberadaannya seperti “tidak ada”. Jadi mereka juga tidak begitu serius jika ada persoalan buruh informal. Alhasil, bos kecil (pengusaha) kerap melakukan semena-mena terhadap buruhnya. Seperti jam kerja yang berlebihan, tidak dimasukkan jam lembur, gaji di bawah Upah Minimum Kota, tidak ada BPJS, dan lain sebagainya.

Rebdra Dwi Prastyo dalam jurnalnya menguraikan, keberadaan sektor informal perkotaan dalam suatu tatanan perekonomian suatu wilayah karena sektor ini telah terbukti lebih tahan berhadapan resesi ekonomi dibandingkan dengan usaha-usaha yang berskala besar (B.J. Habibi). Sektor informal di kota-kota besar di Indonesia menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan tambahan pendapatan bagi pelakunya. 

Kemudian sisi positifnya juga dirasakan di tempat asal mereka, karena para pelaku sektor informal perkotaan umumnya mengirim uang ke desa minimal sekali setahun. Pengiriman uang tersebut mampu menambah dinamika kehidupan ekonomi wilayah pedesaan. Sekalipun dilihat dari segi produksi sektor informal secara ekonomi kurang menguntungkan, tetapi ternyata dapat menunjang kehidupan dari sebagian besar penduduk perkotaan yang terbelenggu kemiskinan.

Di antara banyak persoalan buruh dengan majikan, PHK adalah yang paling sering dirasakan kaum buruh. Alasannya sederhana saja, karena pengusaha yang memiliki alat produksi, dan mereka membeli tenaga buruh seperti membeli tenaga kuda. Selagi kuda itu dibayar maka dipakailah tenaganya, jika selesai manfaatnya, kuda itu pun tidak dipakai lagi. Sangat mudah memahami relasi kuasa antara pengusaha dan buruh, sebagaimana hal itu telah disampaikan oleh Karl Marx.

Karl Max menjelaskan proses-kerja diubah menjadi proses di mana si kapitalis mengkonsumsi tenaga-kerja, yang menunjukkan dua fenomena karakteristik.

Pertama, buruh bekerja di bawah kendali kapitalis yang menjadi miliknya. Kapitalis menjaga dengan baik bahwa pekerjaan dilakukan dengan tepat, dan alat produksi digunakan dengan cerdas, sehingga tidak boros bahan yang tidak perlu. Dan tidak ada keausan peralatan di luar apa yang seharusnya disebabkan oleh pekerjaan.

Kedua, produk adalah milik si kapitalis dan bukan milik si pekerja. Misalnya kapitalis membayar tenaga-kerja sehari pada nilainya, maka hak untuk menggunakan kekuasaan itu untuk sehari menjadi miliknya, sama seperti kuda yang disewa untuk digunakan.

Dengan membeli tenaga-kerja, si kapitalis menggabungkan kerja sebagai fermentasi hidup, dengan unsur-unsur produk yang tak bernyawa. Dari sudut pandangnya, proses kerja tidak lebih dari konsumsi barang dagangan yang dibeli

Nah, jika buruh informal itu di-PHK oleh majikannya apakah bisa digugat? Bisa, jika unsur hukumnya terpenuhi. Jurnal itu juga menjelaskan unsur-unsur hubungan industrial atas putusan Mahkamah Agung No.841 K/Pdt. Sus.2009 dan No. 276 K/Pdt. Sus/2013 :

a. Pekerjaan, unsur ini terpenuhi jika pekerja hanya melaksanakan pekerjaan yang sudah diberikan perusahaan;

b. Upah, unsur ini terpenuhi jika pekerja menerima kompensasi berupa uang tertentu yang besar jumlahnya tetap dalam periode tertentu. Bukan berdasarkan komisi/presentasi;

c. Perintah, unsur ini terpenuhi jika pemberi perintah kerja adalah perusahaan, bukan inisiatif pekerja.

Data Buruh di Sulawesi Utara

Total penduduk Sulut (Sulawesi Utara) pada Agustus 2021 berdasarkan proyeksi penduduk Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 diperkirakan sebanyak 2,5 juta orang. 

Angkatan kerja berusia 15 tahun ke atas di Sulut (Sulawesi Utara) baik di kota maupun di pedesaan berjumlah 1.212 juta. Mereka paling banyak bekerja di sektor pertanian, perhutanan, dan perikanan, berjumlah 282.616 buruh. Sementara paling sedikit bekerja di sektor pengadaan listrik dan gas, pengelolaan air, pengelolaan sampah, limbah, daur ulang, dengan total berjumlah 5.153 buruh.

Buruh informal dengan gaji tertinggi sekitar 2,4 juta rupiah di Kota Bitung pada sektor pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, pengadaan listrik dan gas, pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang, kontruksi, sebagaimana laporan BPS 2021. Sedangkan buruh informal dengan gaji terkecil sekitar  710 ribu rupiah di Kepulauan Talaud pada sektor pertanian, perhutanan, dan perikanan.

Terkait jumlah buruh tertinggi dari tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas) sebanyak 158.560 buruh, kedua tamatan SD (Sekolah Dasar) sebanyak 138.006 buruh. Dan ketiga perguruan tinggi sebanyak 110.619 buruh.

Untuk data buruh informal secara detail masih sulit didapatkan. Sebaiknya menekankan Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan kepada seluruh perusahaan di Sulut. 

PHK Buruh Informal 

Ilustrasi buruh tani
Ilustrasi buruh tani | Foto Rodolfo Clix/Pexels.com

Republika melaporkan, awal pandemi 2020 lalu sebanyak 681 perusahaan di Sulut (Sulawesi Utara) mengalami dampak Covid-19, akibatnya buruh informal di-PHK sebanyak 17.008 orang.

Selanjutnya pada 2021, mengutip Tribun Manado,  Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Kota Manado Donald Supit melalui Kabid Hubungan Industrial dan Jaminan Tenaga Kerja Eva Pandensolang berupaya agar tidak terjadi PHK di wilayahnya dengan cara:

1. Penyesuaian tempat kerja untuk mengurangi biaya proses produksi di perusahaan serta mengurangi kegiatan dan mobilitas kerja maka pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah, diberlakukan WFH.

2. Penyesuaian waktu kerja dalam hal WFH telah diberlakukan, namun perusahaan tetap mengalami dalam menanggulangi biaya proses produksi, maka dapat ditempuh upaya: 

a. Pengaturan jam kerja;

b. Menghapuskan/membatasi kerja lembur;

c. Mengurangi jam kerja;

d. Merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;

e. Melakukan penyesuaian besaran dan cara pembayaran upah pekerja/buruh;

f. Mengurangi fasilitas dan/atau tunjangan pekerja/buruh secara bertahap, misalnya dari jenjang manajerial dan seterusnya.

Namun apakah kasus buruh informal sampai ke tahap seperti itu? Mengingat buruh informal di posisi lemah, kerap menerima saja apa yang diperlakukan si tuan. Jika di-PHK kita tidak mendengar buruh informal menggugat ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Jika pun ada, berapa jumlahnya? Semestinya buruh informal juga bisa menarik majikannya ke meja hijau. Agar hak-hak normatif buruh informal dipenuhi.

BPJS Ketenagakerjaan bagi Buruh Informal

Meski begitu upaya  Pemda (Pemerintah Daerah) Sulut mulai melindungi buruh informal. Setidaknya 60 persen  dari 1,1 juta angkatan kerja sudah dilindungi BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu sebagaimana tertuang di Antara Manado, 21 Februari 2022 lalu. 

I News Sulut melaporkan pada OKtober 2021, di Tomohon sebanyak 32.657 buruh informal telah mendapatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan. Mereka terdiri dari pedagang, sopir, tukang ojek, buruh harian lepas, petani, nelayan, wiraswasta, tukang kayu, tukang batu, pelaut, asisten rumah tangga, mekanik, pengrajin, dan seniman.

Menekankan kembali, buruh informal adalah orang yang bekerja, bukan dia yang memiliki alat produksi atau barang dan jasa. 

Pedagang  adalah orang yang menguasai (memiliki) barang-barang yang diperdagangkan. Petani juga adalah orang yang menguasai (memiliki) lahan untuk ditanami berbagai tanaman. Kecuali buruh tani, buruh tani adalah buruh miskin yang bekerja pada petani kaya. Nelayan juga begitu, jika dia bukan buruh yang bekerja pada nelayan kaya, dia bukan buruh informal. 

Tiga jenis itu sebenarnya bisa masuk ke kaum rentan. Karena rentan dari dampak perekonomian yang tidak stabil, sehingga mereka bisa secara drastis jadi miskin.

Memang berbeda dalam memahami buruh/pekerja informal oleh pemerintah, BPS menyebutkan buruh/pekerja informal adalah penduduk yang bekerja dengan status/kedudukan pekerjaannya sebagai berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak dibayar/tidak tetap, pekerja bebas di pertanian dan nonpertanian, serta pekerja tidak dibayar.

Bagi BPS orang yang mengelola usahanya sendiri disebut buruh informal. Padahal Pasal 1 Ayat 32 Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan” Pekerja sektor informal adalah tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja sektor informal dengan menerima upah dan/atau imbalan.” kata kuncinya adalah menerima upah. Memangnya yang punya usaha sendiri diupah? Kan tidak, mereka mendapatkan keuntungan dari hasil selisih transaksi dari barang yang diperjualbelikan.

Selanjutnya di Minahasa, sebanyak 15 ribu buruh informal masuk BPJS Ketenagakerjaan. “Sampai saat ini kepesertaan untuk tenaga informal sekitar 20 ribu tenaga kerja, terdiri dari Program Mapalus dan ASN Peduli, untuk tenaga kerja formal yaitu THL, Perangkat Desa dan Keluarahan.” kata Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Minahasa Agnes Pudjiastuti, seperti dilaporkan Sulut News.

Mengutip Manado Post, sementara di Kota Manado sendiri sebanyak 31 ribu buruh informal akan diberikan BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu diungkapkan Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) Manado Donald Sumpit pada Juni 2021 lalu.

Perlunya Serikat Buruh Informal di Sulut

Untuk menampung kualitas buruh informal Sulut (Sulawesi Utara) sebaiknya perlu pembentukan serikat. Hal ini sangat berguna baik bagi buruh informal itu sendiri, juga pengusaha. Karena mau bagaimanapun setiap warga negara Indonesia berhak berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapatnya  sebagaimana ketentuan undang-undang berlaku.

Kalau mereka berserikat, minimal mereka bisa menyampaikan unek-uneknya, apa saja kegelisahannya disampaikan ke bos. Atau kalau lebih baik lagi bisa menyampaikan pendapatnya agar gajinya dinaikkan. Bayangkan saja gaji per bulan hanya 710 ribu rupiah? Memangnya cukup untuk belanja seharai-hari, apalagi kebutuhan pokok semakin naik.

Selain itu buruh dengan berserikat bisa menyampaikan kebimbangannya soal waktu. Meskinya buruh tidak boleh lebih dari 8 jam. Kalau waktu kerja molor, wajib masuk lembur. Buruh perempuan khususnya, mereka juga punya kewajiban di rumah mengurus anak-anaknya. Membereskan pekerjaan rumah, mengajari anaknya, dan lain sebagainya sebagaimana tanggungjawab ibu pada keluarga.

Jadi buruh perempuan meski bisa menyeimbangkan waktunya di tempat kerja dan di rumah. Karena jika tidak seimbang, akan terjadi ketimpangan yang berdampak pada keluarga. Oleh karena itulah buruh perempuan waktunya harus jelas, agar ia bisa pula menunaikan tanggungjawabnya sebagai ibu di rumah.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Hal itu juga telah dikuatkan dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia) “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Bisa lihat pula pada Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja “Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh.”

Dan pada ayat 2 memang harus diwajibkan minimal anggota serikat buruh dibentuk 10 orang. Hal ini memang jadi kontroversi, tidak sesuai dengan UU 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun karena berserikat adalah hak setiap buruh, maka mereka perlu mendorong pembuatan serikat. 

Infografis buruh informal di Sulawesi Utara
Infografis buruh informal di Sulawesi Utara | Asmara Dewo/Advokatmanado.com

Penulis: Asmara Dewo, Konsultan Hukum

 

Posting Komentar untuk "Memahami Lagi Nasib Buruh Informal di Sulawesi Utara"