Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Negara Takut dengan Bendera Bulan Bintang?

 

Ilustrasi Pengibaran Bendera

Advokatmanado-Pengurus negara tampaknya kian kehilangan sensitivitas ketika rakyatnya mengeluh. Keluhan ini sebenarnya telah lama disampaikan oleh para korban banjir dan longsor di Sumatera, baik secara terang-terangan maupun melalui sindiran. Namun negara seolah tidak melihat—atau memilih untuk tidak melihat—jeritan tersebut. Fokus negara tampak lebih diarahkan pada roda ekonomi yang menguntungkan segelintir orang (kapitalis), ketimbang memulihkan kerugian dan penderitaan yang dialami rakyatnya sendiri.

Para korban banjir dan longsor di Sumatera setidaknya menyampaikan tiga tuntutan utama. Pertama, agar negara menetapkan bencana tersebut sebagai bencana nasional. Kedua, agar para pengurus negara menjalankan fungsinya secara maksimal dan penuh tanggung jawab, bukan sekadar hadir secara seremonial, serta membangun komunikasi yang baik dengan para korban. Ketiga, negara diminta untuk tidak menghalangi, membatasi, apalagi mempersulit bantuan dari luar negeri, karena bagi para korban, bantuan sekecil apa pun sangat berarti bagi kelangsungan hidup mereka.

Dalam konteks ini, pengurus negara seharusnya tidak menilai para korban sebagai pihak yang “tidak tahu berterima kasih”, atau merasa tersinggung karena bantuan negara dibanding-bandingkan dengan donatur lain. Bagaimanapun, negara memang berkewajiban memenuhi kebutuhan warganya yang terdampak bencana. Sementara bantuan dari negara lain atau dari warga yang berdonasi merupakan hak dan pilihan moral semata. Lebih dari itu, bantuan tersebut adalah wujud solidaritas dan rasa kemanusiaan.

Hal lain yang perlu dipahami adalah bahwa para korban pada dasarnya sangat berterima kasih kepada petugas lapangan yang telah diterjunkan. TNI, Polri, Tim SAR, BPBD, pemerintah daerah, dan unsur lainnya telah bekerja keras di lapangan. Apresiasi tidak hanya datang dari para korban, tetapi juga dari rakyat Indonesia secara luas, termasuk para netizen yang mengawal penanganan bencana banjir dan longsor tersebut.

Keputusasaan Para Korban di Aceh

Belakangan, karena semakin sulitnya para korban melanjutkan hidup serta ketidakpastian sikap negara, sebagian warga mulai mengibarkan bendera putih. Bendera ini dikibarkan sebagai simbol bahwa mereka sudah tidak sanggup lagi bertahan dan memilih menyerah. Mereka merasa kalah oleh keganasan bencana di Sumatera yang diyakini dipicu oleh aktivitas perusahaan sawit, pertambangan, dan perusahaan HTI (Hutan Tanam Industri).

Kekecewaan terhadap sikap negara yang dianggap tidak serius menangani penderitaan mereka kemudian diekspresikan melalui pengibaran bendera Bulan Bintang. Bendera ini dikenal sebagai Bendera Aceh, yang secara visual memang sama dengan Bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Pengibaran bendera tersebut semakin marak sejak awal Desember hingga hari ini, terutama pada momentum-momentum yang dianggap sakral oleh masyarakat Aceh.

Ketika Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), ditanya jurnalis mengenai maraknya pengibaran bendera Bulan Bintang, ia menjawab dengan santai, “Sudah diimbau. Tapi sesekali nggak apa-apa, namanya anak muda.” Mualem tampak memahami psikologis warganya dan memilih untuk tidak memperkeruh keadaan. Sikap ini berbeda dengan respons sebagian pengurus negara yang justru langsung melabeli pengibaran bendera Bulan Bintang sebagai simbol separatis, potensi makar, keinginan memisahkan diri dari NKRI, bahkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara.

Di sinilah letak persoalan utamanya. Pengibaran bendera Bulan Bintang di Lhokseumawe pada 25 Desember 2025 berakhir ricuh. Ratusan aparat gabungan TNI dan Polri merazia bendera yang dibawa rombongan warga Pidie yang hendak menyalurkan bantuan bagi korban bencana. Peristiwa tersebut memicu adu mulut dan berujung pada tindakan kekerasan oleh aparat terhadap warga, yang menyebabkan sejumlah orang mengalami luka-luka. Dari video yang beredar, tampak jelas seorang tentara memukul warga menggunakan laras panjang senjata jenis M16.

Menurut keterangan TNI, terdapat pula seorang warga yang kedapatan membawa sepucuk pistol di dalam tasnya. Senjata tersebut kemudian diamankan oleh TNI dan diserahkan kepada Polri untuk ditindaklanjuti sesuai prosedur hukum.

Melihat Konflik Aceh dalam Perspektif Sejarah

Permasalahan pengibaran bendera Bulan Bintang di Aceh saat ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh. Keinginan sebagian warga Aceh untuk melepaskan diri dari Indonesia berakar pada kekecewaan mendalam terhadap pengurus negara di masa lalu, terutama terhadap kebijakan politik yang diambil pada era Presiden Soekarno.

Pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, konflik Aceh bermula pada masa Tengku Daud Beureueh sekitar tahun 1953, ketika Aceh bergabung dengan gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Konflik ini kemudian mereda setelah Tengku Daud Beureueh bersedia turun gunung bersama pasukannya dan kembali ke pangkuan Indonesia.

Konflik kembali mencuat ketika Tengku Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimon, Pidie. Menurut Hasan Tiro, Aceh tidak pernah benar-benar merdeka karena masih berada di bawah kendali politik yang berpusat di Jawa. Ia berpendapat bahwa selama kebijakan politik dan pengelolaan sumber daya alam ditentukan oleh pusat, kesejahteraan rakyat Aceh akan terus terpinggirkan.

Hasan Tiro meyakini bahwa tanpa kemerdekaan politik, Aceh tidak akan mampu mengatur agama, ekonomi, dan hukumnya sendiri. Pandangan inilah yang melandasi lahirnya GAM pada 1976. Konflik bersenjata tersebut akhirnya berakhir pada 2005 melalui Perjanjian Helsinki di Finlandia. Berdasarkan laporan BBC yang mengutip Amnesty International, jumlah korban sipil yang tewas selama konflik Aceh antara 1976 hingga 2005 diperkirakan mencapai 10.000 hingga 30.000 jiwa.

Oleh karena itu, permasalahan Aceh sejatinya mencerminkan kegagalan negara dalam mendistribusikan kesejahteraan dan perlindungan kepada warganya. Kegagalan ini bahkan diakui secara implisit oleh negara melalui pemberian status kekhususan kepada Aceh. Dengan demikian, pengibaran bendera Bulan Bintang lebih tepat dipahami sebagai bentuk keluhan dan ekspresi kekecewaan rakyat Aceh, bukan sebagai upaya memisahkan diri dari Indonesia. Negara semestinya merespons kritik tersebut dengan kebijakan dan empati, bukan dengan pendekatan keamanan yang represif.

Pengibaran Bendera dan Penafsiran Hukum yang Tidak Sempit

Pasal 246 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan:

“Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.”

Ayat (3) menegaskan bahwa:

“Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh.”

Sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang tersebut, Pemerintah Aceh bersama DPRA mengesahkan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penetapan Bendera dan Lambang Aceh. Pasal 4 ayat (1) qanun ini menjelaskan secara rinci bentuk dan desain Bendera Aceh, termasuk gambar bulan dan bintang dengan warna dasar merah, putih, dan hitam.

Persoalan muncul ketika pengibaran Bendera Aceh dibenturkan dengan Pasal 6 ayat (4) PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, yang menyatakan bahwa desain bendera daerah tidak boleh memiliki persamaan dengan desain bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis dalam NKRI.

Karena desain Bendera Aceh sama dengan Bendera GAM, maka bendera tersebut kerap dianggap sebagai simbol separatis. Namun pertanyaannya, apakah GAM masih eksis sebagai gerakan separatis pasca-perdamaian 2005? Fakta perdamaian tersebut menunjukkan bahwa GAM telah melebur ke dalam NKRI, sehingga tidak lagi dapat diposisikan sebagai entitas separatis di luar negara. Konsekuensinya, Bendera Bulan Bintang pun tidak semestinya lagi dianggap sebagai bendera separatis. Bahkan, salah satu konsekuensi politik dari perdamaian tersebut adalah pengakuan terhadap hak istimewa Aceh, termasuk dalam penetapan bendera daerah.

Di sisi lain, aparat keamanan kerap menggunakan Pasal 106 KUHP tentang makar untuk menuduh warga yang mengibarkan Bendera Bulan Bintang. Padahal, unsur makar mensyaratkan adanya niat jahat (mens rea) dan perbuatan nyata sebagai permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), seperti latihan militer, persiapan senjata, deklarasi kemerdekaan, atau serangan terhadap aparat negara.

Dalam konteks pengibaran Bendera Aceh oleh warga yang tengah dilanda bencana, tidak terdapat niat maupun tindakan nyata untuk memisahkan diri dari Indonesia. Oleh karena itu, penggunaan pasal makar dalam situasi ini tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga mencerminkan pendekatan negara yang abai terhadap konteks sosial dan penderitaan warganya sendiri.

Penulis: Asmara Dewo

Posting Komentar untuk "Mengapa Negara Takut dengan Bendera Bulan Bintang?"